Jumat, 07 November 2014

Etika Berkomunikasi


Ketika berbicara tentang etika berkomunikasi, mungkin yang terlintas di benak saya adalah kesopansantunan berhubungan dengan orang lain (maaf kan pemahaman saya yang dangkal ini hehe). Terlintas begitu saja menuliskan tulisan ini ketika tadi siang saya berbincang dengan salah seorang teman.


Saat itu saya sedang bercerita tentang tugas dari salah satu dosen. Betapa ribet dan susahnya tugas yang diberikan. Salah sedikit dikembalikan dan harus di kerjakan ulang. Ya. Bapak dosen tadi merupakan salah satu dosen senior di kampus saya. Beliau masih menjunjung tinggi kebiasaan-kebiasaan lama. Etika berkomunikasi, yang mungkin saat ini mulai memudar di kalangan pemuda. Salah satu contoh yang bisa saya ingat adalah ketika beliau tidak masuk kelas untuk mengajar, beliau membuat surat izin lengkap dengan tercantumnya nama saya di bagian kiri atas surat (kebetulan saya ketua kelas). Di tengah maraknya komunikasi dengan pesan singkat dari ponsel, dosen saya ini masih setia dengan surat yang dicetak.
Contoh lainnya adalah, ketika beliau mengirimkan materi kuliah ke alamat email saya. Di bagian isi surat, beliau menyapa saya kemudian memberi keterangan tentang maksud pengiriman email. Kurang lebih isinya seperti ini “Selamat malam mbak Shaquila, bersama ini saya lampirkan materi kesehatan olahraga. Materi-materi ini masih terlalu sempit jadi masih perlu dikembangkan lagi dengan membaca dari beberapa sumber lainnya. Atas perhatian saudara saya ucapkan terima kasih.”

Saya tertegun. Saya merasa seperti dihargai. Barangkali inilah salah satu fungsi etika. Untuk menghargai orang lain. Entah itu pada yang tua atau muda. Di zaman ketika beliau masih muda, mungkin banyak sekali pelajaran-pelajaran beretika seperti ini. Bagaimana seharusnya menulis surat baik elektronik maupun cetak, bagaimana berbicara dan berhubungan dengan orang lain dan sebagainya.

Dan hei, ternyata bahagia sekali mendapatkan email di dahului dengan pengantar seperti ini. Saya menganalogikannya dengan seseorang yang mengetuk pintu atau mengucap salam terlebih dahulu sebelum masuk dalam rumah orang.
Sebenarnya, saya pernah mendapatkan pelajaran ini dari salah seorang teman yang kuliah di jurusan ilmu komunikasi. Dia mengatakan, meskipun sekarang ini mengirimkan berkas surat sudah bisa dilakukan melalui email tapi tetap harus diberi kata pengantar di bagian isi surat alih-alih mengosongkannya. Ini etika. Memang benar juga, beda rasanya mendapatkan email dengan atau tanpa kata pengantar. Yang kosong tanpa kata pengantar bayangannya seperti mendapatkan surat dari tukang pos tapi dilempar ke muka begitu saja. Yang memakai kata pengantar seperti mendapatkan senyuman hangat dari pengantar surat.
Beberapa teman di kelas saya terkejut ketika mengetahui saya mengirimkan tugas ke alamat email salah satu dosen dengan memakai kata pengantar. –Selamat siang pak…. Bla bla bbla blab la….-seperti itu.
“Lak, harus dikasih begituan ya?”
“Wah, aku nggak pernah ngirim email tak kasih kalimat pengantar seperti itu”
Dan beberapa komentar lainnya. Saya menjawab dengan mengatakan kalau ini merupakan salah satu etika mengirim email. Apalagi kepada dosen, yang notabene lebih tua dari kita. Beberpa mungkin menganggap ini kuno. Tapi beginilah etika. Kuno ataupun tidak yang terpenting tujuannya adalah saling menghormati orang lain.
Mulai sekarang, siapapun kalian yang membaca ini kalau menulis email kepada siapapun pastikan memakai kalimat pengantar :D. Walaupun sedikit kuno, tapi ini benar-benar membahagiakan.


Ps. Surat izin dari bapak dosen sampai sekarang masih saya simpan, emailnya juga saya screenshot hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar